Opini Politik
Walikota Tanjungpinang Diduga Anti Demokrasi

Potret Icon Kota Tanjungpinang, Gedung Gong-gong.
TRANSKEPRI, TANJUNGPINANG - Walikota Tanjungpinang, Rahma dan awak media terlihat seolah menjadi dua sisi mata uang yang bertolak belakang.
Bagaimana tidak, wanita yang digadang - gadang bakal maju kembali dipertarungan orang nomor satu di Kota Gurindam tersebut, tengah disorot oleh berbagai awak media atau Insan Pers.
Bukan karena prestasi maupun kinerjanya saat memimpin Kota Tanjungpinang. Tetapi, berbagai hal negatif yang ditimbulkan oleh Politisi Partai Nasdem ini.
Mulai dari Foto dugaan mirip dirinya, Recofusing anggaran yang dilakukan olehnya, hingga Walikota Tanjungpinang, Rahma dan Endang Abdullah selaku Wakil Walikota yang diduga ikut menikmati Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Pemerintah Kota Tanjungpinang (Pemko Tanjungpinang).
Kesemuanya enggan diklarifikasi oleh Pemimpin Kota Tanjungpinang ini, bahkan Rahma terlihat Bungkam kepada tidak berkata apapun saat ditanya tentang kontroversi tersebut.
Sontak hal ini pun menjadi tanda tanya besar ditengah masyarakat. "Apakah ini benar?" Raut wajah memerah serta bingung saat pertanyaan ini terlontar ke orang nomor satu di Ibu Kota Kepri tersebut.
Hal ini pun sontak menjadi pertanyaan apakah layak sosok seorang Rahma yang penuh dengan kontroversi ini maju kembali dipertarungan memperebutkan kursi orang nomor satu di Tanjungpinang.
Jawabannya ada dimasyarakat, karena mereka yang akan memilih Pemimpin yang layak untuk memegang dan memimpin Kota Tanjungpinang.
Komunikasi yang baik perlu ditingkatkan agar Walikota Rahma dapat kembali merebut hati masyarakat.
Karena berdasarkan UU nomor 14 tahun 2008 Walikota Rahma harus terbuka terkait kontroversi ini.
Ditengah kontroversi ini, Walikota Rahma malah sibuk dengan kegiatan seremonial dengan memberikan menggunakan dana Baznas. Tanpa memikirkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2022.
Karena perlu diingat menjadi pemimpin yang baik bukanlah mudah. Pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang keras, yang suka marah dan yang ditakuti. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memimpin pengikutnya mencapai suatu tujuan tertentu.
Terdapat banyak definisi mengenai pemimpin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pemimpin memiliki kata dasar “pimpin” yang sering disebut sebagai pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja atau tua-tua yang dalam konteks perannya berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara dalam sistem tertentu.
Menurut Kartono (1994), pemimpin adalah seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengorganisir, mengarahkan usaha atau upaya orang lain sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang menjadi panutan dalam memberikan arahan kepada masyarakat atau individu, bertindak memimpin dengan cara memprakarsai tingkah laku sosial dan bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan bersama.
Pemimpin juga identik dengan jabatan. Itu sebabnya banyak orang yang ingin menjadi pemimpin.
Namun, tahukah bahwa menjadi seorang pemimpin bukanlah pekerjaan mudah. Pemimpin tidak hanya sekadar memimpin, tetapi juga harus berani menanggung semua risiko yang mungkin menimpa komunitas atau rakyat yang dipimpinnya. Inilah yang biasanya tak bisa dilakukan oleh semua pemimpin.
Namun demikian, pemimpin adalah juga manusia biasa. Pasti ada salah dan khilafnya. Hanya saja ada orang yang melakukan kesalahan tapi tidak merasa bersalah.
Sebab ia merasa selalu benar. Karenanya, saat ia diingatkan, dikritik atas kesalahannya, ia tak terima dan marah.
Padahal dalam demokrasi, kritik sejatinya merupakan inti dari demokrasi. Kritik adalah bentuk keseimbangan.
Kritik adalah cara yang baik untuk mengetahui kekurangan. Oleh karenanya, keberadaan pihak yang mengkritik harusnya disyukuri bukan malah dimusuhi.
Sepahit apa pun kritik, ia tetaplah obat, yang tidak saja berjasa menunjukkan kekeliruan, tetapi sekaligus menuntun untuk menemukan arah yang benar. Maka, pahamilah kritik secara benar.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang anti terhadap perubahan. Ia tidak mau belajar dan berkembang.
Apa yang menurutnya benar harus diikuti dan tidak boleh ada orang yang membantahnya. Padahal, persoalan terus berkembang. Ilmu pun terus berkembang.
Sangat mungkin persoalan yang dianggap benar dibeberapa tahun kemarin, bisa jadi menjadi salah untuk saat ini. Dikarenakan dinamika dan pendekatan keilmuan yang terus berkembang.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang merasa jadi manusia sempurna. Merasa menjadi manusia setengah dewa, begitu kata Iwan Fals dalam syair lagunya. Padahal kalau ia sadar, manusia tetaplah manusia. Tempatnya salah dan keliru.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang egois. Pemimpin yang mementingkan diri dan kelompoknya.
Rakyat, baginya nomor kesekian. Karena egois, maka hasrat dan nafsu akan selalu menjadi pemandu dalam pengambilan kebijakan.
Dan muaranya, keresahan, kegundahan dan kerusakan bagi keberlangsungan sistem.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang sombong. Pemimpin yang sombong adalah pemimpin yang tidak mampu memerankan diri jadi pemimpin.
Bila Anda ingin naik. Mulailah dengan turun. Bila Anda ingin membangun menara tinggi menjulang. Mulailah dengan menanam fondasinya, yaitu kerendahan hati.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang anti demokrasi. Ciri utama demokrasi adalah memberikan kebebasan untuk berbicara, berserikat dan berkumpul. Dan karenanya, bila seorang pemimpin anti kritik sejatinya ia adalah anti demokrasi. Anti kebebasan berbicara.
Seorang pemimpin yang anti kritik, adalah pemimpin yang anti kontrol. Kontrol terhadap kekuasaan adalah keniscayaan.
Sebab kontrol akan menghalangi kekuasaan dari perbuatan semena-mena. Bukankah kekuasaan itu cenderung bakal korup?
Jelas dan terang, apa itu kritik dan bagaimana seorang pemimpin yang anti kritik itu. Sebagai pemegang kekuasaan, semestinya tak boleh alergi terhadap kontrol atau kritik agar tetap dianggap sebagai pemerintahan demokratis.
Source : Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjung Pinang Prodi Sosiologi, Dimas Wibowo.